Dalam pandangan Islam, yang termasuk kebutuhan pokok meliputi kebutuhan
terhadap barang-barang tertentu (sandang, pangan, dan papan) dan kebutuhan
terhadap jasa-jasa tertentu (meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Ini
adalah kebutuhan pokok. Dikatakan sebagai kebutuhan pokok, sebab berbagai hal
tersebut adalah kebutuhan mendasar seorang manusia dengan segala potensinya,
baik itu kebutuhan fisik/biologis maupun kebutuhan pemenuhan naluri. Dalam
pandangan Islam, negara wajib memenuhinya.
Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan pokok ini harus menggunakan politik
ekonomi yang benar. Politik ekonomi yang benar, tidak lain adalah politik
ekonomi Islam. Secara garis besar, strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan
antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan pemenuhan kebutuhan
pokok yang berupa jasa. Mengapa harus dibedakan? Sebab, terdapat perbedaan
antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok; antara kebutuhan yang
berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa.
Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, negara memberikan jaminan
dengan mekanisme tidak langsung, yaitu dengan jalan menciptakan kondisi dan
sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa jasa dipenuhi dengan mekanisme
langsung, yaitu negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.
Artinya, negara memberikan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma
atau semurah mungkin, serta menciptakan stabilitas dalam negeri demi
terciptanya rasa aman warga negara.
1. PEMENUHAN KEBUTUHAN POKOK BERUPA BARANG (PANGAN, SANDANG DAN PAPAN)
Strategi untuk pemenuhan ini dilakukan secara bertahap. Ada beberapa langkah
yang harus ditempuh negara.
Langkah pertama:
Memerintahkan Kepada Setiap Kepala Keluarga untuk Bekerja
Barang-barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila manusia
berusaha mencarinya. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan
berusaha. Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah
fardhu/wajib. Allah SWT berfirman:
“Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk : 15)
Firman-Nya juga:
“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah :10)
Firman-Nya yang lain:
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar
padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan
mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al-Jatsiyah :12)
Nash-nash di atas memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya,
pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia
adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.
Langkah kedua:
Negara Menyediakan Berbagai Fasilitas Lapangan Kerja agar Setiap Orang yang
Mampu Bekerja dapat Memperoleh Pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia
tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha
mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan
atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja
untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung
jawab negara. Rasullah saw bersabda :
“Seorang Imam/pemimpin adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia
akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah memberikan dua
dirham kepada seseorang, kemudian Beliau saw. berkata kepadanya:
“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia
untuk bekerja.”
Syaikh Abdul Aziz Al Badri rahimahullah menceritakan suatu ketika Amirul
Mukminin, Umar bin Khathab ra. memasuki sebuah masjid di luar waktu salat lima
waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra.
lalu bertanya :“Apa yang sedang kalian kerjakan, sedangkan orang-orang di sana
kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut,
maka marahlah Umar ra., seraya berkata :“Kalian adalah orang-orang yang malas
bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan
perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari masjid namun memberi mereka
setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka: “Tanamlah dan bertawakallah
kepada Allah.”
Langkah ketiga:
Memerintahkan Kepada Setiap Ahli Waris atau Kerabat Terdekat untuk Bertanggung
Jawab Memenuhi Kebutuhan Pokok Orang-orang Tertentu, Jika Ternyata Kepala
Keluarganya Sendiri tidak Mampu Memenuhi Kebutuhan Orang-orang yang Menjadi
Tanggungannya
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas
pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak
mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka
kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya,
sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…”(QS. Al-Baqarah :233)
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris.
Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu)
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Rasulullah saw telah bersabda :
“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu.” (HR. Ibnu Majah)
Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak
memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya.
Langkah keempat:
Mewajibkan Kepada Tetangga Terdekat yang Mampu untuk Memenuhi Sementara
Kebutuhan Pokok (Pangan) Tetangganya yang Kelaparan
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahramnya, dan ia pun
tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya,
maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada Baitul Mal (perbendaharaan
negara). Namun sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka
menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah
mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan
kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan
pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang
yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya
kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR. Al-Bazzar)
Bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara, sehingga tetangganya
tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang, maka negara yang
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab, Baitul Mal
(perbendaharaan negara) memang berfungsi menjadi penyantun bagi orang-orang
yang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur
urusan rakyatnya.
Langkah kelima:
Negara secara Langsung Memenuhi Kebutuhan Pangan, Sandang dan Papan Seluruh
Warga Negara yang Tidak Mampu dan Membutuhkan.
Menurut Islam, negara Bbaitul Mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang
lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur
urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap
rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok
individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara sempurna
–baik karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) atau
pun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja–
maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara bisa saja memberikan nafkah dari Baitul Mal tersebut berasal dari harta
zakat yang merupakan kewajiban Syar’i, dan diambil oleh negara dari orang-orang
kaya, sebagaimana firman Allah SWT :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah :103)
Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda
Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak mencukupi.
Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Tidak
seorang pun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karena itu,
Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Demikianlah, negara harus berbuat
sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam,
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh
setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan
tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan Syari’at Islam, Umar bin Khathab
telah membangun suatu rumah yang diberi nama “darul daqiiq” (rumah tepung). Di
sana tersedia berbagai jenis tepung, korma dan barang-barang kebutuhan lainnya,
yang tujuannya untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan
memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari
kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat
yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para musafir. Rumah yang sama,
juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Itulah hukum-hukum syari’at Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan
kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat,
dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu
masyarakat yang sedang dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan
mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).
2. PEMENUHAN KEBUTUHAN POKOK BERUPA JASA (PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN KEAMANAN)
Pendidikan, kesehatan dan keamanan, adalah kebutuhan asasi dan harus dikecap
oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang
(pangan, sandang dan papan), di mana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya
melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan jasa
pendidikan, kesehatan dan keamanan dipenuhi negara secara langsung kepada
setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk
masalah “pelayanan umum” (ri’ayatusy syu-uun) dan kemaslahatan hidup
terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga
jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus
mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun
non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan,
ditanggung oleh Baitul Maal.
Dalam masalah pendidikan, menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan
termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar
dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus
dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Mal. Rasulullah SAW
telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau
katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan, apabila
seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis.
Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik Baitul
Mal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam
perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan
tawanan itu ke Baitul Mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut
mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah SAW telah menjadikan
biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau SAW, memberi
upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik
Baitul Mal.
Menurut Syaikh Abdul Aziz Al-Badri, Ad Damsyiqy menceritakan suatu peristiwa
dari Al Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga
orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas
jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap
bulan (satu dinar = 4,25 gram emas). Totalnya 63,75 gram emas. Jadi kalaulah
dianggap satu gram emas harganya sekitar Rp 70.000, berarti gaji guru, pengajar
anak-anak, lebih kurang Rp. 4.462.5000. (Bandingkan dengan gaji guru sekarang)
Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara negara
berkewajiban menjadikan saran-sarana dan tempat-tempat pendidikan. Rasulullah
SAW bersabda:
“Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani)
Mencari ilmu adalah kewajiban yang harus dipikul oleh setiap individu (fardlu
‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardlu kifayah (fardlu atas sebagian kaum
muslimin) tidak akan gugur kewajiban mencarinya sebelum sebagian kaum muslimin
berhasil melaksanakannya dalam batas yang mencukupi. Misalnya ilmu ekonomi,
kedokteran, industri, elektronika, mekanika dan ilmu-ilmu lain yang sangat
bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum muslimin.
Adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis,
Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli
pengobatan)nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut
dijadikan sebagai dokter kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas
mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah SAW itu,
dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan
bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian,
hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum
muslimin, atau untuk negara. Lain halnya apabila hadiah tersebut dipakai oleh
beliau pribadi, seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah,
misalnya, maka hadiah seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk
seluruh kaum muslimin.
Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah SAW terhadap suatu hadiah
yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang
bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk
suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya yang
hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Maal dan untuk seluruh kaum muslimin.
Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan
sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati
orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah SAW
pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan
membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.
Diceritakan bahwa Sayyidina Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal
untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam,
ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para
Khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin
Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang
penyakit lepra. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di
Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci
tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta,
dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis
kepada orang-orang sakit. Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat,
terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau
balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap
negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan (jasa) yang pokok mudah
dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh
aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban
bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang
menjamin pelaksanaannya. Untuk melaksanakan ini semua maka negara haruslah
memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan adalah salah satu kebutuhan jasa
pokok adalah sabda Rasulullah saw :
“Barangsiapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya,
sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia
telah menjadi miliknya.” (Al-Hadits)
Adapun dalil bahwa yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah
tindakan Rasulullah saw yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan
keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmi) sebagaimana
sabdanya:
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah
melakukanya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka terpelihara
oleh-Ku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan jalan yang hak.
Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari, Muslim dan pemilik sunan yang
empat)
Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat, adalah dengan
jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan dan mengganggu
keamanan jiwa, darah dan harta orang lain. Sebagai gambaran kepada siapa saja
yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang
lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa
qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan
kejahatan tersebut. Termasuk di dalamnya keamanan harta milik pekerja dari upah
yang seharusnya mereka miliki. Serta keamanan harta milik pengusaha dari
perusahaan dan aset yang mereka miliki.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan
kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan.
Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah
pendidikan, kesehatan dan keamanan. Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban
negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat.
Negaralah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syari’at Islam.
Dengan dilaksanakan politik ekonomi Islam tersebut, beberapa permasalahan pokok
ketenagakerjaan yang berkaitan dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok dapat
diatasi. Pengangguran diharapkan akan berkurang karena ketersedian lapangan
kerja dapat di atasi; masalah buruh wanita dan pekerja di bawah umur tidak akan
muncul karena mereka tidak perlu harus terjun ke pasar tenaga kerja untuk
mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian permasalahan tunjangan
sosial berupa pendidikan dan kesehatan bukanlah masalah yang harus
dikhawatirkan pekerja. Termasuk jaminan untuk memperoleh upah yang menjadi hak
pekerja dapat diberikan.
Wallahu a’lam.
SALAM PEMBEBASAN!
NAJMAH AL FARUQ
Rujukan:
1) Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam – Syaikh Abdul Aziz Al Badri
2) Solusi Islam atas Masalah Ketenagakerjaan – Muhammad Reza Rosadi
3) Sistem Ekonomi dalam Islam – Syaikh Taqiyuddin An Nabhani
4) Studi Pemikiran Islam – Muhammad Husain Abdullah